SISTEM
TINGKAT DAN NON TINGKAT
Makalah
Disusun untuk memenuhi
Matakuliah Manajemen Peserta Didik
yang dibina oleh Ibu
Dra. Djum Djum Noor Benty, M.Pd
Oleh:
Desi
Retno Nugraheni (170131601015)
Nur
Aida Indah E. (170131601060)
Viana
Rahmawati (170131601103)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEPTEMBER,
2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah manajemen sarana dan prasarana
tepat pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menerangi semua umat di muka bumi ini dengan
cahaya kebenaran.
Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian penyusunan
makalah ini. Khususnya kepada dosen pembimbing mata kuliah Manajemen Peserta
Didik, yaitu Ibu Dra. Djum Djum Noor Benty, M.Pd yang telah membimbing dan
membagi pengalamannya kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa
dalam makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, baik dari
segi isi maupun segi bahasa. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini. Penulis
berharap agar makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Malang, September 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
SAMPUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang 1
B. Rumusan
Masalah 2
C. Tujuan
2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Alasan
dan Batasan Sistem Tingkat 3
B. Beberapa
Pertimbangan Kenaikan Tingkat 6
C. Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Tingkat 6
D. Sebab-sebab
Peserta Didik Tidak Naik Tingkat 7
E. Remidi
bagi Peserta Didik yang Tidak Naik Tingkat 8
F.
Sistem Tanpa Tingkat 9
G. Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Tanpa Tingkat 9
H. Sistem
Kredit Semester dalam Kurikulum 2013 10
I.
Penyelenggaraan Sistem
Akselerasi di SMP 14
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan 18
DAFTAR
RUJUKAN 19
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peserta didik merupakan
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri yang dimiliki
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu. Untuk menunjang pengembangan potensial yang dimiliki oleh
peserta didik, tentu pihak sekolah menyediakan sarana dan progam untuk
pengembangan kemampuan peserta didik. Manajemen peserta didik merupakan upaya
yang harus dilakukan oleh sekolah untuk melayani segala kebutuhan peserta didik
guna menunjang pengembangan kemampuan peserta didik. Manajemen peserta didik
juga diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap pesereta didik mulai dari
peserta didik masuk sampai peserta didik tersebut menyelesaikan pendidikannya.
Sistem tingkat dan non tingkat
merupakan salah satu komponen dari manajemen peserta didik, sistem tingkat dan
sistem tanpa tingkat dilandasi atas dasar pemikiran mengenai pengajaran
klasikal dan pengajaran individual. Sistem tingkat lebih mengarah pada
pengajaran yang klasikal, sedangkan sistem tanpa tingkat lebih mengarah pada
pengajaran yang individual.
Sistem tingkat merupakan suatu
bentuk penghargaan yang diberikan kepada peserta didik karena mereka telah
memenuhi semua persyaratan, kriteria, dan waktu tertentu, bentuk dari
penghargaan yang diberikan berupa kenaikan satu tingkat ke jenjang yang lebih
tinggi. Sistem tanpa tingkat muncul karena rasa ketidakpuasan terhadap adanya
sistem tingkat, sistem ini beranggapan bahwa meskipun peserta didik dalam
keadaan yang sama, namun dalam keadaan sebenarnya mereka tidak sama.
Layanan terhadap peserta didik
berupa diadakannya sistem tingkat dan tanpa tingkat ini, diharapkan dapat
mengoptimalkan pengembangan potensi peserta didik dalam belajar di lembaga
pendidikan. Namun, keefektifan dari sistem tingkat dan tanpa tingkat ini
berbeda dari sudut pandang orang yang mengamati. Oleh karena
itu, di dalam makalah ini kami akan membahas mengenai sistem tingkat dan tanpa
tingkat di lembaga pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apa alasan dan batasan
sistem tingkat?
2.
Bagaimana pertimbangan
dalam kenaikan tingkat?
3.
Bagaimana kelebihan dan
kekurangan sistem tingkat?
4.
Apa sebab-sebab peserta
didik tidak naik tingkat?
5.
Bagaimana remidi
terhadap peserta didik yang tidak naik tingkat?
6.
Apa pengertian sistem
tanpa tingkat?
7.
Bagaimana kelebihan dan
kekurangan sistem tanpa tingkat?
8.
Bagaimana penyelenggaraan
sistem kredit semester dalam kurikulum 2013?
9.
Bagaimana
penyelenggaraan sistem akselerasi di SMP?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Memahami alasan dan
batasan sistem tingkat;
2.
Mengetahui hal-hal yang
dijadikan pertimbangan dalam kenaikan tingkat;
3.
Memahami kelebihan dan
kekurangan sistem tingkat;
4.
Mengetahui sebab-sebab
peserta didik tidak naik tingkat;
5.
Memahami masalah remidi
terhadap peserta didik yang tidak naik tingkat;
6.
Memahami pengertian
sistem tanpa tingkat;
7.
Mengetahui kelebihan
dan kekurangan terhadap sistem tanpa tingkat;
8.
Mengetahui
penyelenggaraan sistem kredit semester dalam kurikulum 2013;
9.
Mengetahui
penyelenggaraan sistem akselerasi di SMP.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Alasan
dan Batasan Sistem Tingkat
Sistem tingkat lebih
mengarah pada pengajaran klasikal. Pemikiran ini dimulai dari pandangan dengan
adanya kesamaan-kesamaan peserta didik dalam banyak hal. Oleh karena adanya
kesamaan-kesamaan peserta didik dalam banyak hal, maka mereka mendapatkan
layanan pendidikan yang sama di kelas.
Kesamaan pada peserta didik,
menempatkan pada tingkat yang sama. Mereka yang waktu diterima di sekolah
tersebut sama, ditempatkan pada tingkat yang sama. Alasan diterapkan sistem
tingkat ini menurut Imron (2016), selain pada kesamaan adalah efisiensi
pendidikan di sekolah tersebut. Jika para peserta didik berada dalam keadaan
sama, dan dapat dilayani bersama-sama, tidak efisien dari segi tenaga dan
biayanya, jika dilayani secara individual. Oleh karena itu, layanan secara sama
menggunakan sistem tingkat tersebut, dianggap lebih efisien dan lebih baik.
Pemborosan dalam hal tenaga dan biaya bisa ditekan.
Apa yang dimaksud dengan sistem
tingkat? Sistem tingkat adalah suatu bentuk penghargaan kepada peserta didik
setelah memenuhi kriteria dan waktu tertentu dalam bentuk kenaikan satu tingkat
ke jenjang lebih tinggi. Kriteria mengacu kepada prestasi akademik dan prestasi
lainnya, sedangkan waktu mengacu kepada lama peserta didik berada di tingkat
tersebut. Misalnya peserta didik yang berada di kelas satu sudah memenuhi
persyaratan, baik dari segi waktu, maupun kemampuan untuk ke tingkat
berikutnya, maka ia dinaikkan.
Pada sekolah-sekolah
yang ada di Indonesia, tingkatan di sekolah dasar ada enam, di sekolah menengah
pertama tiga dan di sekolah menengah atas tiga. Peserta didik dapat naik
tingkat hanya satu tingkat dan tidak boleh lebih. Kenaikan tingkat disebut juga
dengan istilah promosi. Menurut Suking (2013) promosi sendiri terdiri dari:
1. Promosi
Seratus Persen
Promosi
seratus persen adalah kenaikan tingkat apabila seluruh anggota kelas dapat naik
tingkat secara bersama-sama, artinya dalam satu kelas tidak ada yang tinggal kelas, semua anggota
kelas naik dengan persentase 100%. Pada kenaikan ini yang dipandang adalah dari
jumlah peserta didiknya. Dalam hal ini guru dipandang berhasil dalam mendidik
peserta didik karena mampu membuat peserta didiknya naik tingkat seluruhnya.
2. Annual Promotion
Annual promotion atau yang disebut
dengan kenaikan tiap tahun adalah kenaikan tingkat pada peserta didik pada
setiap tahun. Kenaikan ini biasa disebut dengan kenaikan kelas. Peserta didik
diuji terlebih dahulu dengan adanya ujian kenaikan kelas. Jika peserta didik
lulus dan memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), maka peserta didik dapat
dinyatakan naik tingkat. Annual promotion
terjadi setiap dua semester. Pada semester dua ini, semua nilai di akumulasikan
mulai dari semester satu. Apabila nilai yang didapatkan dapat dikategorikan
lulus, maka peserta didik layak untuk dinaikkan.
3. Trial Promotion
Trial promotion adalah kenaikan tingkat
percobaan. Ada saat dimana pendidik merasa “bimbang” dalam menentukan kenaikan
peserta didik dikarenakan jika peserta didik tersebut dinaikkan, maka
dikhawatirkan akan menyulitkan dirinya karena nilainya masih belum memenuhi KKM.
Maka dari itu, peserta didik dinaikkan sementara atau di uji coba untuk
dinaikkan. Apabila peserta didik mampu melanjutkan di tingkat selanjutnya,
peserta didik tersebut tetap dinaikkan. Tetapi apabila peserta didik tersebut
tidak mampu, dapat diturunkan kembali ke tingkat sebelumnya. Kenaikan ini biasa
disebut dengan “naik gantungan”.
4. Semi Annual Promotion
Semi annual promotion adalah kenaikan
tingkat setengah tahunan. Kenaikan tingkat ini dilakukan setiap setengah tahun
sekali atau setiap satu semester. Peserta didik diberikan ujian UAS (Ujian
Akhir Semester) untuk dapat melanjutkan ke semester genap atau semester dua.
Nilai yang didapat pada semester ganjil ini nantinya akan diakumulasikan dengan
nilai yang didapatkan pada semester selanjutnya. Dan akan dijadikan patokan
untuk menentukan apakah peserta didik tersebut
layak dinaikkan atau tetap tinggal kelas.
5. Special Promotion
Special promotion adalah kenaikan tingkat istimewa, yang
dimaksud dengan kenaikan tingkat istimewa adalah kenaikan yang didapat oleh
peserta didik apabila ia mempunyai prestasi di bidang akademiknya. Ia
mendapatkan nilai diatas rata-rata. Biasanya kenaikan tingkat disertai dengan
“peringkat” atau urutan dari yang teratas hingga mencapai 10 besar dalam suatu
kelas. Terkadang peserta didik yang termasuk dalam 10 besar ini merasa bangga
atas prestasi yang diraihnya, dan biasanya yang tergolong dalam 3 besar
mendapatkan hadiah dari guru sebagai apresiasi atas prestasinya agar lebih
meningkatkan hasil belajar di tingkat yang selanjutnya.
6. Double Promotion
Double promotion
adalah kenaikan tingkat ganda, kenaikan ini terdapat pada peserta didik yang
menempuh pendidikan dengan jalur akselerasi. Pada jalur akselerasi, peserta
didik yang seharusnya menempuh pendidikan dengan rentang waktu selama 3 tahun
dipersingkat waktunya menjadi 2 tahun saja. Peserta didik dinaikkan 2 tahun
sekaligus, sehingga dikatakan sebagai double
promotion. Tetapi, pada masa sekarang ini, akselerasi telah dihapuskan.
Jadi, promosi ini sudah tidak berlaku lagi.
7. Subject Promotion
Subject promotion adalah kenaikan tingkat hanya pada
mata pelajaran tertentu. Kenaikan tingkat ini hanya berlaku pada sekolah yang
menerapkan sistem SKS (Sistem Kredit Semester). Peserta didik yang lulus dalam
satu mata pelajaran tertentu tidak perlu mengulang mata pelajaran tersebut,
akan tetapi jika ada mata pelajaran yang tidak lulus, ia harus mengulang mata
pelajaran tersebut tetapi tidak semua mata pelajaran. Melainkan hanya mata
pelajaran yang tidak lulus saja.
B.
Beberapa
Pertimbangan Kenaikan Tingkat
Semua peserta didik memiliki hak
yang sama untuk naik tingkat ke tingkat tertentu. Tetapi terdapat
persyaratan-persyaratan tertentu. Menurut Imron (2016) pertimbangan-pertimbangan
tersebut sebagai berikut:
1.
Prestasi yang
bersangkutan. Presatasi yang dicapai tingkat sebelumnya, memungkinkan untuk
berada tingkat diatasnya. Apabila peserta didik berada diatas rata-rata kelas
maka dapat dinaikkan. Sebaliknya, kalau berada dibawah rata-rata kelas, tidak
dapat dinaikkan kecuali ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.
2.
Waktu kenaikan tingkat.
Meskipun peserta didik mempunyai kemampuan untuk dinaikkan, jika masa kenaikan
tingkat belum waktunya, yang bersangkutan tidak mungkin dinaikkan sendiri.
3.
Persyaratan
administratif sekolah seperti kecukupan hadir peserta didik dalam pelajaran
yang dilaksanakan di sekolah. Meskipun peserta didik mempunyai nilai yang bagus
diatas rata-rata kelas, dan dari segi periode waktu memenuhi syarat untuk naik
tingkat, tetapi absensinya banyak dan tidak memenuhi syarat berdasarkan
kebijaksanaan sekolah, maka yang bersangkutan juga perlu dipertimbangkan
kenaikannya.
C.
Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Tingkat
Kelebihan sistem tingkat menurut
Imron (2016:146) adalah sebagai berikut:
1.
Dapat dijadikan sebagai
alat untuk merekayasa belajar peserta didik;
2.
Efisien, karena sistem
tingkat menggunakan sistem pembelajaran klasikal;
3.
Rasa sosial peserta
didik tetap tinggi, karena mereka sama-sama mendapatkan materi pembelajaran
yang sama di tingkatnya;
4.
Pengadministrasiannya
mudah, karena mereka berada dalam satu tingkat, mengambil program pendidikan
yang sama.
Adapun kekurangan sistem tingkat
menurut Imron (2016:146) adalah sebagai
berikut:
1.
Peserta didik yang
tidak naik tingkat akan menghadapi persoalan-persoalan akademik dan psikologis;
2.
Peserta didik yang
pandai, tidak sabar menunggu peserta didik lain yang kemampuannya lebih rendah;
3.
Kurang adanya kompetisi
di antara peserta didik, sehingga tidak begitu baik dalam menimbulkan semangat
kompetisi di antara peserta didik;
4.
Hanya menguntungkan perkembangan
peserta didik yang menengah, karena merekalah yang menjadi ukuran pelaksanaan
proses belajar mengajar.
D.
Sebab-sebab
Peserta Didik Tidak Naik Tingkat
Mengulang kelas adalah suatu
keadaan dimana siswa tidak dapat naik ke tingkat yang lebih tinggi karena
memiliki prestasi atau nilai dibawah standar rata-rata kelas yang telah
ditetapkan oleh sekolah yang bersangkutan. Jadi siswa harus tetap tinggal pada
tingkat atau kelas sebelumnya, mengulang seluruh mata pelajaran yang telah
diterima, sehingga dapat memperbaiki pemahamannya tentang pelajaran yang kurang
dimengerti, dan secara otomatis dapat memperbaiki nilai-nilai yang kurang baik
tersebut.
Mengulang kelas memiliki segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya adalah: siswa diberi kesempatan untuk
dapat lebih memahami pelajaran-pelajaran yang telah diberikan yang kurang
dimengerti, membantu siswa untuk dapat mengatasi kesulitan-kesulitan dalam
belajar, membantu mempersiapkan siswa agar menjadi lebih baik dikemudian hari.
Sedangkan sisi negatifnya adalah:
siswa yang tidak naik tingkat akan mengalami masalah psikologis, seperti: tidak
percaya diri, rendah diri, putus asa, frustasi, shock, bahkan mengalami stress.
Disini peran orang tua, guru, kepala sekolah, dan BP (Bimbingan dan Penyuluhan)
sangat dibutuhkan untuk membantu siswa memperbaiki diri, memotivasi siswa untuk
dapat lebih baik di kemudian hari.
Berdasarkan laporan teknis
penelitian lapangan oleh Sweeting & Muchlisoh (1998), beberapa penyebab
murid mengulang kelas di kelas 1 SD, yaitu: (1) tidak bisa membaca, untuk
ketidakmampuan menulis atau memecahkan masalah berhitung sederhana tidak
dipertimbangkan sebagai alasan yang cukup untuk menyatakan kegagalan anak; (2)
kurang mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan lancar, bahkan tidak bisa sama
sekali; dan (3) kurangnya antusiasme
guru untuk membantu siswa belajar membaca, banyak guru menyimpulkan anak-anak
miskin kurang mampu belajar membaca, sehingga guru tidak mengajari mereka yang
lamban dalam belajar, khususnya membaca.
Sebab-sebab mengulang kelas selain
kelas 1 SD, antara lain: (1) rendahnya skor tes atau rendahnya performan atau
prestasi anak pada tes akademik; (2) alasan lain adalah anak-anak yang
kelelahan karena perjalanan sekolah yang jauh, dan sekaligus beban berat untuk
pekerjaan rumah dan juga tugas-tugas keluarga yang harus diselesaikan, sehingga
ketika di sekolah mereka cenderung tidak berkonsentrasi pada pelajaran; (3)
faktor lain yang mempunyai dampak pada angka mengulang kelas adalah kondisi
fisik ruang kelas SD yang sangat menyedihkan, membuat anak tidak berkonsentrasi
dan cenderung mengabaikan pelajaran di sekolah; dan (4) sebab keempat yang
menyebabkan anak mengulang kelas adalah kesehatan anak-anak yang rendah karena
status gizi mereka yang kurang baik.
E.
Remidi
bagi Peserta Didik yang Tidak Naik Tingkat
Peserta didik yang tidak naik
tingkat, tidak saja mendapatkan remidi atau penanganan secara akademik
melainkan juga penanganan secara psikologis. Menurut Imron (2016:147) adapun
remidi secara akademik yang dapat dibantu secara khusus kepada peserta didik
yang tidak naik tingkat adalah sebagai berikut:
1.
Membantu untuk
mengenali penyebab-penyebab tidak naik tingkat, dan selanjutnya mencari
solusinya;
2.
Membantu untuk
merencanakan kegiatannya, termasuk di dalamnya adalah kegiatan belajar;
3.
Memberikan
latihan-latihan yang mendukung untuk pemahaman mata pelajaran yang sulit.
Sedangkan remidi secara psikologis
yang dapat diberikan kepada peserta didik yang tidak naik tingkat adalah
sebagai berikut:
1.
Menyadarkan kepada yang
bersangkutan bahwa sebenarnya ia naik tingkat, hanya saja waktunya yang tidak
sama dengan peserta didik lainnya;
2.
Menyadarkan kepada yang
bersangkutan bahwa jika dalam kondisi demikian ia dinaikkan, dikhawatirkan
justru menyulitkan dirinya ketika sudah berada di tingkat berikutnya;
3.
Memberikan terapi
psikologis jika terbukti bahwa yang bersangkutan mendapatkan gangguan-gangguan
psikologis.
F.
Sistem
Tanpa Tingkat
Sistem tanpa tingkat adalah
antitesa dari sistem tingkat. Ia muncul didasari rasa ketidakpuasan dengan
adanya sistem tingkat. Sistem ini dikembangkan didasari oleh pandangan
psikologis, meski peserta didik berada dalam kondisi sama, tetapi realitasnya
tidak ada yang persis sama. Selalu ada perbedaan antara peserta didik satu
dengan lainnya. Jadi, sistem ini menggunakan pembelajaran yang lebih individual
(Imron, 2016).
Pada sistem ini, sekelompok peserta
didik yang memprogram mata pelajaran sama, dikelompokkan di tempat yang sama,
dan diajar guru yang sama, meski peserta didik dari angkatan tahun yang
berbeda. Bahkan dalam kondisinya yang ekstrim, peserta didik dipersilakan
mengambil paket program yang tersedia sesuai kemampuan dan kesempatan
masing-masing tanpa terpengaruh teman-temannya. Dengan demikian, ada peserta
didik yang dapat menyelesaikan program dengan cepat, lambat, bahkan sangat
lambat.
Jika peserta didik dapat
menyelesaikan program yang telah ditawarkan, maka dianggap lulus dari program
tersebut. Begitu juga sebaliknya. Keberhasilan penyelesaian program dilihat per
mata pelajaran, bukan secara menyeluruh. Jadi, jika suatu mata pelajaran belum
dikuasai, ia harus mengulang pada satu mata pelajaran itu, dan tidak mengulang
banyak mata pelajaran sebagaimana dalam sistem tingkat.
G.
Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Tanpa Tingkat
Kelebihan sistem tanpa tingkat
menurut Imron (2016) adalah sebagai berikut :
1.
Peserta didik dapat
berkembang seoptimal mungkin menurut irama perkembangannya sendiri, tanpa
terhambat oleh peserta didik lainnya;
2.
Peserta didik dapat
mengambil paket program sesuai minat dan kesempatan. Hal itu sesuai dengan
kebutuhan psikologis peserta didik;
3.
Peserta didik yang
pandai akan lebih cepat menyelesaikan program sehingga lebih cepat pula
melanjutkan studi. Sebaliknya, peserta didik yang tergolong lambat, tidak
merasa dipaksa mengikuti peserta didik yang cepat;
4.
Melatih kemandirian
peserta didik, karena sejak dini sudah dilatih menentukan keputusan sendiri di
dalam mengambil paket-paket program.
Sedangkan kekurangan sistem tanpa
tingkat menurut Imron (2016) adalah sebagai berikut:
1.
Peserta didik sejak
dini banyak memacu prestasi secara individual, sehinga rasa sosialnya kurang.
Sistem ini berbenturan dengan sosiobudaya negara berkembang yang masyarakatnya
banyak menjunjung tinggi nilai-nilai sosial;
2.
Peserta didik harus
mengambil keputusan secara mandiri mengenai paket program yang akan diambil,
maka diperlukan penasihat akademik yang mendampingi dan membantu agar mengambil
program-program pendidikan secara benar. Ada beberapa mata pelajaran prasyarat
yang harus dikuasai dahulu sebelum mengambil mata pelajaran lain atau
berikutnya;
3.
Sangat sulit
pengadministrasiannya, karena segalanya bergantung pada peserta didik yang
mengambil paket program. Bisa terjadi, suatu paket program tidak memiliki
peserta didiknya ataupun bisa juga terlalu banyak peseta didiknya. Ini juga
bisa menyulitkan dalam pengaturan prasarana, sarana, waktu, dan tenaga.
H.
Sistem
Kredit Semester dalam Kurikulum 2013
Penerapan sistem SKS dalam
pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Akhir, merupakan salah
satu upaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk mengoptimalkan potensi
yang dimiliki peserta didik agar berkembang sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Sistem SKS hadir dalam dunia pendidikan guan menjawab
kekurangan dari sistem tingkat dan sistem tanpa tingkat, meskipun dalam
pelaksanaannya masih terdapat beberapa permasalahan, namun diharapkan sistem
SKS dapat mengoptimalkan pendidikan nasional di Indonesia.
1.
Landasan
diselenggarakannya sistem SKS di tingkat SMP/MTs, SMA/MA/SMK
Pihak sekolah yang menerapkan
sistem SKS, memiliki dasar yang dijadikan pedoman untuk menerapkan sistem SKS
sebagai bagian dari layanan terhadap peserta didik guna mengoptimalkan potensi
yang dimiliki. Berikut ini beberapa landasan yang digunakan untuk menerapkan
sistem SKS:
a.
Pasal 12 ayat (1) UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa “Setiap
siswa pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dan menyelesaikan program pendidikan
sesuai dengan kevcepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari
ketentuan batas waktu yang ditetapkan.”
b.
Pasal 38 ayat (2) UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa
“Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor
departemen agama kabupaten/kota.”
c. Pasal
11 ayat (2) dan (3) PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menyatakan bahwa “Beban belajar SMA/MA/SMALB, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajat pada jalur pendidikan formal kategori standar dapat dinyatakan dalam
satuan kredit semester.”
2.
Konsep Sistem Kredit
Semester (SKS) Menurut Kurikulum 2013
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum 2013 mengenai pedoman umum pembelajaran disebutkan bahwa
konsep sistem kredit semester (SKS) adalah sistem penyelenggaraan program
pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata
pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Beban belajar
setiap mata pelajaran pada SKS dinyatakan dalam satuan kredit semester (SKS).
Beban belajar 1 (satu) SKS meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam
penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri.
3.
Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Sistem SKS Menurut Kurikulum 2013
Prinsip-prinsip
yang digunakan dalam penyelenggaraan SKS di SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK
mengacu pada hal-hal berikut:
a.
Siswa dapat
menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang akan mereka ikuti di
tiap semester sehingga diharapkan akan dapat menyesuaikan dengan kemampuan,
bakat, dan minat mereka masing-masing.
b.
Siswa
dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi akan dapat mempercepat waktu
penyelesaian studinya dibanding periode belajar yang telah ditentukan tetapi
dalam hal ini tetap harus memperhatikan ketuntasan belajar mereka.
c. Siswa akan terdorong untuk memberdayakan diri mereka masing-masing
dalam proses belajar secara mandiri.
d. Siswa boleh memilih dan mengatur strategi belajar secara lebih
fleksibel.
e. Siswa akan mempunyai kesempatan dalam menentukan kelompok
peminatan, lintas minat, dan pendalaman minat, serta mata pelajaran sesuai
dengan potensi mereka masing-masing.
f. Siswa boleh berpindah ke sekolah lain yang sejenis dan telah
menggunakan SKS dan semua kredit yang telah diambil dapat dipindahkan ke
sekolah yang baru (transfer kredit).
g. Sekolah harus menyediakan sumber daya pendidikan yang lebih memadai
baik secara teknis maupun secara administratif.
h. Penjadwalan kegiatan pembelajaran diusahakan sedemikian rupa agar
dapat memberikan pemenuhan kebutuhan pada pengembangan potensi siswa baik dalam
pengetahuan, sikap, ataupun keterampilan.
i.
Guru
memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan akademik siswa sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minat mereka masing-masing.
4.
Persyaratan
Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester (SKS) Menurut Kurikulum 2013
Tidak
semua sekolah boleh menyelenggarakan sistem kredit semester. Sistem ini hanya
dibolehkan pada sekolah-sekolah yang memenuhi syarat-syarat tertentu
Berikut
ini adalah syarat yang harus dipenuhi oleh sekolah jika ingin menggunakan
sistem kredit semester (SKS):
a.
Satuan
pendidikan SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK yang terakreditasi A dari Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dapat menyelenggarakan SKS.
b.
Penyelenggaraan
SKS pada setiap satuan pendidikan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan
ketuntasan minimal dalam pencapaian setiap kompetensi.
5.
Pihak-Pihak Yang Terlibat
dalam Pelaksanaan Sistem Kredit Semester pada Kurikulum 2013
Dalam
rangka mensukseskan penerapan SKS (Sistem Kredit Semester) maka harus diatur
hal-hal sebagai berikut:
a.
Pusat
Kurikulum dan Perbukuan membuat model-model penyelenggaraan SKS bagi satuan
pendidikan.
b.
Direktorat
teknis persekolahan membuat dan melaksanakan program pembinaan penerapan SKS di
lapangan sehingga sesuai dengan karakteristik pada masing-masing satuan
pendidikan.
c.
Dinas
pendidikan provinsi dan kabupaten/kota membuat dan melaksanakan program
koordinasi dan supervisi dalam penerapan SKS di setiap satuan pendidikan di
wilayah kewenangannya masing-masing.
6.
Mekanisme
Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester pada Kurikulum 2013
Penyelenggaraan
SKS di setiap satuan pendidikan SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK
harus dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan, kelayakan, dan ketersediaan
sumberdaya pendidikan bagi keberlangsungan penyelenggaraan sistem kredit
semester (SKS) secara optimal. Kepala satuan pendidikan memberikan
informasi-informasi terlebih dahulu (sosialisasi) pada semua anggota komunitas
sekolah dalam hal ini guru, tenaga kependidikan, dan orang tua sebelum dapat
melaksanakan sistem kredit semester (SKS) ini di satuan pendidikannya.
I.
Penyelenggaraan
Sistem Akselerasi di SMP
Penyelenggaraan program akselerasi
di SMP diawali dengan persiapan penyelenggaraan program. Pihak sekolah
menyiapkan berbagai sumber daya program yang mendukung terselenggaranya program
akselerasi, meliputi: kesiapan guru yang memenuhi syarat rata-rata pendidikannya
lulusan S1, sarana dan prasarana belajar yang memadai, dan lain sebagainya.
Langkah selanjutnya sekolah membuat rencana program akselerasi disusun dengan
baik dalam bentuk proposal yang memuat profil sekolah dan diajukan kepada dinas
pendidikan kota, provinsi, dan pemerintah pusat dengan tujuan mendapatkan izin
penyelenggaraan program akselerasi.
Mekanisme penyelenggaraan program
akselerasi di SMP mengikuti alur sebagai berikut: (1) Sekolah menyusun proposal
permohonan penyelenggaraan kepada Dinas Pendidikan Kota, Dinas Pendidikan
Provinsi, dan Direktorat PLB yang dilengkapi dengan profil sekolah; (2) Dinas
Pendidikan Kota melakukan observasi dan supervisi ke sekolah; (3) Hasil
observasi dan supervisi itu menjadi dasar rekomendasi ke Dinas Provinsi; (4) Dinas
Provinsi melakukan observasi dan supervisi ke sekolah; dan (5) Dinas Provinsi
menerbitkan SK Penetapan sebagai sekolah penyelenggara program akselerasi.
Ditinjau dari bentuk
penyelenggaraannya, program akselerasi di SMP menggunakan model “Kelas Khusus”,
yaitu: peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
belajar dalam kelas khusus. Dalam artian bahwa ruang belajar untuk kelas
akselerasi di SMP disendirikan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh
Widiastono (2004) yang menyatakan bahwa model kelas khusus akselerasi adalah
kelas yang dibuat untuk kelompok peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
istimewa dalam satuan pendidikan reguler pada jenjang dasar dan menengah tanpa
membaur dengan peserta didik reguler lainnya. Pernyataan tersebut diperkuat
oleh Mukhtar, dkk (2007), pembinaan siswa-siswa yang memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa secara kolektif (kelompok) diberi kesempatan secara
khusus sesuai dengan potensi yang mereka miliki ke dalam kelas khusus.
Untuk mengoptimalkan
penyelenggaraan program akselerasi di SMP, maka kepala sekolah telah membentuk
tim penyelenggara program akselerasi. Pengelolaan
program akselerasi tidak dirangkap oleh kepala sekolah. Artinya, kepala sekolah
berdasarkan mekanisme yang ada, telah menetapkan ketua koordinator program
akselerasi tersendiri, dengan tugas utama mengelola program akselerasi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Argyris & Schon (1978) yang menyatakan
bahwa struktur organisasi merupakan seperangkat hubungan yang efektif antara
orang-orang dalam organisasi yang dibentuk untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran
tertentu. Menurut Nawawi (1996), penempatan personel pada unit kerja dan posisi
yang tepat sesuai dengan kemampuan pendidikan dan pengalamannya memiliki
pengaruh yang kuat terhadap pencapaian keberhasilan tujuan suatu organisasi.
Pelaksanaan merupakan bentuk
konkrit dari apa yang telah direncanakan sebelumnya, meliputi: (1) Rekrutmen
peserta didik: penerimaan peserta didik baru setiap tahun ajaran baru, yang
dimulai pada bulan Juni. Berdasarkan perencanaan, tiap kelas ditempati oleh 20
orang peserta didik. Namun, dalam pelaksanaannya, jumlah peserta didik yang
mengikuti program akselerasi setiap tahun rata-rata berjumlah 25 orang peserta
didik. Pelaksanaan seleksi peserta didik sudah dilakukan sesuai dengan yang
direncanakan, yaitu dengan melakukan tiga tahapan, tes potensial akademik,
psikotes, dan kesehatan. Proses seleksi untuk menjadi peserta didik kelas
akselerasi dilakukan secara objektif, akuntabel (dapat dipercaya), dan
transparan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Widiastono (2004) yang
menyatakan bahwa masukan (input) siswa di seleksi secara ketat dengan
menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggung-jawabkan;
(2) Kurikulum: kurikulum kelas akselerasi pada dasarnya sama dengan kurikulum
kelas reguler, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan muatan
lokal, perbedaannya kurikulum tersebut dalam pengembangannya harus
dideferensiasikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Sehingga, lama waktu belajar di
SMP untuk kelas akselerasi selama dua tahun sedangkan bagi kelas reguler adalah
tiga tahun. Ward (1980) yang menyatakan bahwa sekolah penyelenggara pendidikan
akselerasi bagi peserta didik yang memiliki kemampuan istimewa dan bakat
istimewa (giftend and talented) harus berhadapan dengan tuntutan proses pengembangan
kurikulum diferensiasi; (3) Rekrutmen dan pembinaan tenaga pendidik (guru):
tidak dijumpai adanya penerapan seleksi secara khusus yang dilakukan oleh pihak
sekolah dalam memilih guru yang mengajar pada kelas akselerasi. Pemilihan guru
program akselerasi sepenuhnya ditentukan oleh kepala sekolah dengan
pertimbangan, antara lain: guru yang sudah senior, memenuhi standar kompetensi,
dan mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikan. Guru-guru yang di rekrut
untuk program akselerasi di SMP diharuskan untuk mengikuti diklat dan workshop.
Hal ini dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas
mengajar guru sehingga mampu memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta
didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Hal ini selaras dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Lubis dalam (Putri, dkk, 2005) bahwa guru yang
mengajar program akselerasi adalah guru-guru biasa yang juga mengajar program
reguler, hanya saja sebelumnya guru-guru tersebut telah dipersiapkan dalam
suatu lokakarya dan workshop sehingga memiliki pemahaman dan ketrampilan untuk
memberikan pengajaran bagi siswa akselerasi; (4) Ketersediaan sarana dan
prasarana: sarana dan prasarana di SMP yang disediakan untuk peserta didik
akselerasi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan peserta didik reguler. Hal
tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Hawadi (2004) bahwa sarana dan
prasarana program akselerasi hampir sama dengan program reguler, tetapi
kualitasnya lebih ditingkatkan; (5) Pembiayaan program: pembiayaan untuk
program akselerasi di SMP sampai saat ini masih menjadi permasalahan karena
subsidi dari pemerintah masih belum mencukupi. Sumber dana untuk program
akselerasi berasal dari Pemerintah Pusat yaitu berupa dana BOS dan orang tua
peserta didik. Kunci keberhasilan guru dalam memberikan pengajaran di program
akselerasi terletak pada kemampuan guru untuk melakukan analisis materi
pelajaran dengan kalender pendidikan.
Kemudian menurut Mukhtar, dkk (2007) menyatakan bahwa pembelajaran akselerasi
bersifat responsif terhadap perubahan dan berupaya menciptakan program
pembelajaran yang fleksibel dan bertujuan untuk mengadakan perbaikan secara
kontinu. Sedangkan menurut Colin (1997) dengan metode percepatan belajar ini
seorang siswa dapat belajar secara menyenangkan, dan mereka dapat menciptakan
suatu pembelajaran yang sukses dan menyenangkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sistem tingkat merupakan merupakan
suatu bentuk layanan terhadap peserta didik yang sedang mengoptimalkan potensi
yang dimiliki dalam bentuk suatu penghargaan kepada peserta didik setelah mereka
memenuhi kriteria, persyaratan dan waktu tertentu dalam bentuk kenaikan satu
tingkat ke tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Sistem tingkat dapat memacu
peserta didik untuk lebih meningkatkan prestasi, namun sistem ini kurang
menimbulkan adanya kompetisi diantara peserta didik, sehingga mereka tidak
begitu berpartisipasi dalam berkompetisi.
Sistem tanpa tingkat muncul akibat
ketidakpuasan terhadap adanya sistem tingkat. Sistem ini di dasari atas
pandangan psikologis, mereka berpendapat bahwa meskipun peserta didik berada
dalam kondisi yang sama, tetapi dalam realitasnya mereka tidak sama persis.
Dengan sistem tanpa tingkat peserta didik diharapkan dapat berkembang seoptimal
mungkin merurut kemampuan perkembangan masing-masing individu, namun pesertadidik
yang sedari dini banyak memacu prestasi secara individual akan menimbulkan
dampak negative yaitu kurang mampu untuk bersosialisasi dengan masyarakat
sekitar.
DAFTAR RUJUKAN
Argyris,
C., & Schon, D.A. 1978. Organzational
Learning: A Theory of Action Perspective. London: Addison Wesley Publishing
Company.
Colin,
R. & Malcolm, J.N. 1997. Accelerated
Learning for the 21st Century TheSix-step Plan to Unlock Your Master Mind.
New York: Delacorte Press.
Hawadi,
R.A. 2004. Akselerasi: A-Z Informasi
Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta:
Grasindo.
Imron, A. 2016. Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Mukhtar,
dkk. 2007. Pendidikan Anak Bangsa:
Pendidikan untuk Semua. Jakarta: Nimas Multima.
Nawawi,
H. 1996. Administrasi Pendidikan.
Jakarta: Gunung Agung.
Putri,
R., dkk. 2005. Perbedaan Sosialisasi Antara Siswa Kelas Akselerasi dan Kelas
Reguler dalam Lingkungan Pergaulan
di Sekolah. Indonesian Psychological
Journal, 2 (1), 28¯40. Dari http://journal.uad.ac.id/index.php/HUMANITAS/article/view/313/205.
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implemenstasi Kurikulum.
Luk Staff UGM, (Online), (https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud81A-2013ImplementasiK13Lengkap.pdf),
diakses 5 September 2018.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Kemenag, (Online), (https://kemenag.go.id/file/dokumen/PP1905.pdf),
diakses 5 September 2018.
Suking, A. 2013. Manajemen Kesiswaan pada Sekolah Efektif
(Studi Multi Kasus di MAN Insan Cendekia, SMA Terpadu Wira Bhakti, dan SMA
Negeri 3 Gorontalo). Disertasi tidak diterbitkan. Gorontalo: Universitas
Negeri Gorontalo.
Sweeting &
Muchlisoh. 1998. Beberapa Penyebab Murid
Mengulang Kelas, Putus Sekolah, dan Melanjutkan Sekolah dari SD ke SLTP. Laporan
Teknis No. 18b. Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Luk Staff UGM, (Online), (http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf), diakses 5 September 2018.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Luk Staff UGM, (Online), (http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf), diakses 5 September 2018.
Ward,
V.S. 1980. Differential Education for the
Gifted. California: Ventura.
Widiastono,
H. 2004. Sistem Percepatan Kelas
(Akselerasi) Bagi Siswa yang Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa,
(Online), (http://www.depdiknas.go.id),
diakses 12 Oktober 2018.
0 komentar:
Posting Komentar